SIDOARJOSATU.COM – Sidang perkara dugaan korupsi pengelolaan Rusunawa Tambaksawah, Kecamatan Waru, kembali digelar di Pengadilan Tipikor Surabaya jalan Juanda Sidoarjo, Senin, (17/11/2025). Dalam sidang dengan agenda eksepsi tersebut, penasihat hukum (PH) terdakwa Agoes Boedi Tjahjono, Descha Govindha, menilai dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak cermat dan justru mengabaikan peran pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab, termasuk mantan Bupati Sidoarjo saat itu.
“Perjanjian dibuat dan ditandatangani Bupati, kok malah pengguna barang yang disalahkan?,” ujar Descha Govinda dalam eksepsinya.
Ia menegaskan, sejak awal dasar dakwaan yang menyudutkan kliennya, mantan Kepala Dinas Perkim CKTR periode 2015–2017, tidak tepat. Menurutnya, Perjanjian Kerja Sama (PKS) pengelolaan Rusunawa Tambaksawah pada 2006 dan perubahan tahun 2010 jelas ditandatangani oleh Bupati Sidoarjo saat itu, Win Hendrarso, bukan oleh pengguna barang.
Baca juga : Empat Mantan Kadis Perkim CKTR Sidoarjo Jalani Sidang Perdana di Tipikor Surabaya
“Kalau perjanjian kerja sama itu dianggap tidak sesuai ketentuan, maka yang paling bertanggung jawab adalah pihak yang menandatangani, yaitu Bupati Win Hendrarso. Bukan klien kami yang baru menjabat mulai 2014,” tegasnya.
Ia menambahkan, seluruh proses penyusunan PKS dilakukan melalui rapat resmi bersama instansi berwenang, sehingga tidak tepat jika dakwaan menyebut Agoes melakukan kesalahan prosedur.
Selain itu, ia juga menyoroti perhitungan kerugian negara yang digunakan jaksa. Dakwaan menyebut Inspektorat Kabupaten Sidoarjo menghitung adanya kekurangan bagi hasil mencapai Rp 9,75 miliar.
Padahal, kata dia, Inspektorat tidak memiliki kewenangan menyatakan adanya kerugian negara.
“Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 sudah jelas, hanya BPK yang berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara. Inspektorat hanya boleh memeriksa, bukan menetapkan,” ujarnya.
Karena itu, menurutnya, dakwaan jaksa yang menjadikan audit Inspektorat sebagai dasar justru cacat formil sejak awal. Poin keberatan lain yang disorot adalah soal rumus perhitungan kerugian negara.
Descha menyebut rumus yang digunakan Inspektorat tidak sesuai dengan ketentuan Perjanjian Kerja Sama tahun 2010. Ia menambahkan, hasil perhitungan yang dijadikan dasar dakwaan tidak jelas dan tidak pasti.
“Jika rumus yang dipakai salah, maka hasilnya pasti salah. Ini hitungan matematik. Tidak mungkin dari 2008 sampai 2022 hasilnya tiba-tiba dianggap benar,” ujarnya.
Descha menutup eksepsinya dengan menyebut bahwa fakta penyimpangan dana tahun 2014–2016 yang dituduhkan jaksa hanya sebesar Rp 137 juta, jauh dari nilai kerugian yang didakwakan.
“Ini membuktikan bahwa dakwaan tidak konsisten, tidak cermat, dan tidak memenuhi syarat formil dan materil,” tegasnya.
Dalam kasus ini, total kerugian negara ditaksir mencapai Rp 9,7 miliar sejak tahun 2008-2022. Sidang lanjutan dijadwalkan pekan depan dengan agenda tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum. (Had).





