SIDOARJOSATU.COM — Di tengah keringnya budaya dialog publik di Sidoarjo, komunitas Sidoarjo for Gress (FoR Gress) kembali menggelar Forum Group Discussion (FGD) sebagai ruang bertukar ide dan refleksi bersama untuk membangun Sidoarjo yang lebih baik.
FGD yang digelar pada Jumat malam, 24 Oktober 2025 di Li Masan Kopi, Sidodadi Candi ini menjadi seri ketiga dari rangkaian diskusi tematik yang diinisiasi FoR Gress. Mengangkat tema “Membaca Sidoarjo: Konflik Elit, Budaya Gaduh, dan Jalan Perbaikan Tata Kelola Daerah,” forum ini menghadirkan beragam perspektif dari akademisi, aktivis, jurnalis, hingga tokoh masyarakat.
Pemantik Diskusi: Dari Konflik Elit ke Masyarakat Epistemik
Dalam sesi pembuka, Badrus Zaman atau biasa disapa Cak Sudrab sebagai pemantik diskusi menyampaikan gagasan yang menohok: konflik elit di Sidoarjo bukan sekadar drama politik, tetapi gangguan terhadap layanan publik. Ketika tata kelola pemerintahan lemah, transparansi rendah, dan partisipasi publik hanya bersifat simbolik, masyarakatlah yang menanggung akibatnya.
Menurut Cak Sudrab, akar persoalan politik Sidoarjo juga terletak pada lemahnya kapasitas civil society yang masih reaktif, emosional, dan terjebak dalam lingkaran aktivisme yang sempit. Banyak yang berfokus pada kritik, tapi belum kuat dalam data, metodologi, dan solusi alternatif.
Ia mengajak masyarakat sipil untuk bertransformasi dari sekadar “suara yang marah” menjadi “pikiran yang dihormati.” “Kita perlu melampaui peran reaktif dan sektoral. Civil society Sidoarjo harus menjadi komunitas epistemik penghasil pengetahuan, data, dan gagasan yang kredibel,” ujar Cak Sudrab.
Cak Sudrab menutup pemantik dengan refleksi yang menggugah:
“Demokrasi lokal tidak lahir dari dekrit elit, tetapi dari infrastruktur sipil yang tangguh, cerdas, berintegritas, dan berakar pada rakyat.”
Gagasan tersebut menjadi arah penting dari FGD kali ini bahwa masa depan politik Sidoarjo akan ditentukan oleh keberanian masyarakat sipil untuk menjadi sumber pengetahuan dan pengendali moral kekuasaan, bukan sekadar reaksi terhadapnya.
Meskipun dalam kondisi cuaca yang kurang kondusif, kualitas diskusi berlangsung intens, mendalam, dan penuh gagasan. Para peserta menyoroti pentingnya memperkuat budaya politik dialogis, memperbaiki tata kelola pemerintahan daerah, serta mendorong partisipasi publik agar konflik antar-elit tidak lagi menjadi penghambat pelayanan dan pembangunan.
Sejak pertama kali digelar, FGD ini menjadi wadah non-formal yang mempertemukan berbagai latar belakang: akademik, aktivis, jurnalis, komunitas, hingga anak muda. Semua duduk sejajar, berbagi pandangan tanpa sekat politik atau jabatan.
Menutup rangkaian sesi ketiga ini, FoR Gress mengumumkan bahwa FGD keempat akan digelar dengan tema “Menyoroti Pendidikan di Sidoarjo”, sebagai upaya melanjutkan dialog publik yang lebih luas dan berorientasi pada masa depan daerah.
Menurut founder Kasmuin Cepad “Kami ingin Sidoarjo tidak hanya ramai oleh proyek dan baliho, tapi juga hidup oleh gagasan dan perbincangan,” tambahnya.
Dengan semangat itu, FoR Gress menegaskan komitmennya untuk terus menghadirkan ruang diskusi yang terbuka, reflektif, dan membumi agar Sidoarjo tak kehilangan akal sehat dalam bisingnya politik lokal.







