Sidoarjosatu.com – Keluarga pasien RS. Swasta di Kabupaten Sidoarjo menilai adanya kejanggalan atas meninggalnya R. Bhagas Priyo (28) usai menjalani operasi amandel. Pihak keluarga menduga ada SOP yang tidak dijalankan oleh pihak RS sehingga menyebabkan kematian.
Hal itu disampaikan saudara kandung pasien berinisial KR. Menurut KR, dugaan kejanggalan tersebut diketahui setelah keluarga menerima informasi bahwa pasien dinyatakan meninggal dunia yang disebabkan serangan jantung. Padahal, menurut penuturan keluarga, pasien tidak pernah memiliki riwayat penyakit jantung.
“Sepuluh hari sebelum dilakukan tindakan operasi, kakak sempat melakukan cek kesehatan. Dan hasil tes kesehatannya di RS yang sama tidak ada rekam medik yang menunjukkan bahwa kakak saya ada riwayat sakit jantung, termasuk penyakit jantung,” ungkap KR, Jumat, (27/9/2024).
KR kemudian bercerita, sejatinya kakaknya tersebut memiliki riwayat penyakit amandel sejak kecil. Namun kakaknya menganggap penyakitnya tersebut hanya sakit biasa dan banyak dialami orang lain. Namun sejak beberapa tahun belakangan penyakitnya tersebut membuatnya tak nyaman. Sehingga kakaknya berupaya untuk mengobati penyakitnya.
Akhirnya, sejak dua bulan belakangan Bhagas rutin melakukan check up ke RS untuk mengetahui sejauh mana perkembangan penyakitnya. Pria yang sehari-harinya bekerja di Bali tersebut menyempatkan pulang ke Sidoarjo hanya untuk berobat (chek up). Pada 10 September 2024 lalu, Bhagas juga sempat pulang ke Sidoarjo untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan.
Alhasil, dokter menyarankan agar operasi bisa dilakukan pekan depan. “Entah karena alasan apa, waktu itu kakak belum bisa pulang seminggu setelah pemeriksaan kesehatan. Dan kakak bisa kembali pulang H-1 atau tanggal 19 September 2024,” katanya.
Esok harinya, Bhagas bersama keluarga kembali mendatangi rs swasta tersebut untuk dilakukan rawat inap. Konon, pasien yang hendak dilakukan operasi biasanya disarankan untuk melakukan rawat inap. Setelah melakukan pendaftaran administrasi jadwal operasi bisa dilakukan pada esok harinya sekitar pukul 08.00 wib.
“Karena masuk (RS) nya waktu itu malam, kakak sempat meminta ke keluarga untuk pulang saja dan kembali esok harinya (saat akan operasi). Setelah berunding akhirnya kami pulang ke rumah dan akan kembali besok pagi,” jelasnya.
Tepat pada Sabtu (21/9) pagi sekitar pukul 07.30 wib (sebelum dilakukan operasi), KR yang saat itu tiba di kamar pasien mendapati kakaknya baru selesai sarapan pagi. Kaget bukan kepalang sontak KR bertanya “loh kok sudah sarapan? Bukannya kalau mau operasi harus puasa dulu ya?
“Tadi ada yang anter sarapan kesini,” jawab Bhagas.
KR sempat mengabarkan kejadian tersebut ke grup keluarga. Dan selang beberapa menit kemudian dia mendapati kabar bahwa operasi yang hendak dilakukan pagi itu ditunda sampai pukul 12.00 Wib.
“Sepengetahuan saya, jika orang akan operasi biasanya harus puasa terlebih dahulu. Dan ketika akan menjalani operasi harusnya diobservasi dulu untuk kesehatan pasien, tapi ini tidak dilakukan oleh pihak RS,” tambahnya.
Saat ditanya apakah sebelum operasi pihak RS mengedukasi pihak keluarga terkait soal pasca operasi dan lain sebagainya, KR mengatakan, pihak RS tidak pernah memberi informasi apapun.
“Saya dan Ibu saya saat menjaga kakak tidak pernah mendapat penjelasan oleh dokter maupun suster soal pasca operasi maupun soal penyembuhan pasien,” terang dia.
Lanjut KR. Setelah kakak nya dimasukkan ke ruang operasi pukul 11.30 WIB. Keluarga hanya bisa menunggu sampai (kurang lebih) pukul 14.15 WIB, dan tiba-tiba dia diminta untuk mengambil obat ke lantai bawah.
“Saya bersyukur karena diminta untuk mengambil obat, artinya proses operasi sudah selesai. Di sebuah layar RS bahwa kakak saya sekitar pukul 14.35 WIB, masih di Anastesi. Tidak lama kemudian saya dipanggil dan diinfokan bahwa kakak saya kena serangan jantung,” ungkap dia.
Setelah mendapatkan info tersebut, KR kemudian mendatangi dokter dan menanyakan perihal serangan jantung tersebut. Mengingat, kakaknya tidak pernah memiliki riwayat jantung.
“Saya langsung tanya kepada petugas RS katanya kakak saya sempat ngobrol -ngobrol dan ketawa pasca operasi. Cuma saat di ICU itu saya melihat masih ada alat yang masih menempel di mulut kakak. Sehingga hal itu menjadi pertanyaan bagi saya, gimana kakak saya bisa ngobrol ketika di mulutnya masih terpasang alat operasi,” katanya.
Setelah dinyatakan meninggal, didalam surat keterangan yang diterima keluarga pun disebutkan bahwa kakaknya meninggal disebabkan Aritmia, yang artinya serangan jantung.
“Ini kan menjadi pertanyaan besar bagi keluarga, jika kena serangan jantung kenapa dokter nekat melakukan operasi. Padahal pada 10 hari sebelumnya rekam kesehatan kakak saya menyatakan tidak ada jantung,” beber dia.
Selain itu, lanjut KR, Dokter Anastesi sempat menyampaikan kepada keluarga bahwa pasien perokok, dan terjadi penyumbatan di paru-paru, dan tensi darahnya tinggi sekitar 180 : 200.
“Padahal kakak kami bukan perokok. Kalaupun tensi darahnya tinggi kenapa harus dilakukan operasi hari itu juga. Dan itu dokter tidak bisa menjelaskan. Dan satu lagi, kenapa kok yang memberikan kabar bahwa Kakk meninggal bukan dokter yang menangani operasi melainkan dokter anastesi.
Berkaitan dengan kasus tersebut, pihak keluarga berencana melaporkan ke pihak berwajib karena dinilai banyak kejanggalan yang menyebabkan pasien meninggal dunia.
Menanggapi hal itu, dr. Erli Mawar Nur Aini, Kepala Ekalasi Kehumasan dan Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) Siti Hajar Sidoarjo, mengatakan bahwa penanganan yang sudah dilakukan dokter sudah sesuai dengan Standar Prosedur Operasi (SPO) rumah sakit. Termasuk adanya perjanjian sebelum dilakukannya tindakan operasi.
“Mohon maaf, semua penanganan yang dilakukan disini sudah sesuai SPO. Dan perjanjiannya juga sudah ada, cuma kami tidak bisa menunjukkan itu karena berkaitan dengan privasi pasien,” jelas dr. Erly.
Berkaitan dengan hal ini, pihak RS berencana akan melakukan komunikasi dengan pihak keluarga berkaitan dengan informasi apapun yang dibutuhkan keluarga. (Had)