Komisi A DPRD Sidoarjo Tuntaskan Polemik Tanah Bekas Eks Lahan Makam Tionghoa ‘Jadi’ Tanah Kavling di Desa Lebo

oleh
foto : Pariwara DPRD Sidoarjo

“Ketua Komisi A menilai status tanahnya sudah Jelas milik Negara, tidak bisa dimiliki perorangan”

SIDOARJOSATU.COM – Polemik status tanah di Desa Lebo, Kecamatan Sidoarjo kembali mencuat setelah adanya aduan dari puluhan masyarakat terkait pengaplingan lahan yang disebut berasal dari eks makam Tionghoa. Komisi A DPRD Sidoarjo menilai status tanah yang diketahui milik negara tersebut tidak serta merta bisa dimiliki perorangan.

Dalam Hearing tersebut dihadiri Ketua Komisi A, H. Rizza Ali Faizin, beserta anggota, Ketua Komisi C, H. Khoirul Hidayat (mantan kades Lebo), Camat, Perangkat Desa Lebo, perwakilan BPN, serta perwakilan korban sengketa lahan.

Ketua Komisi A DPRD Sidoarjo, H. Rizza Ali Faizin yang memimpin hearing menegaskan bahwa forum tersebut bukan pengadilan, melainkan ruang jembatan, maupun ruang klarifikasi terhadap beberapa pihak berwenang. Termasuk dalam kasus ini adalah perangkat desa dan BPN. Rizza, meminta semua pihak jujur agar masalah tidak berlarut.

Baca juga : Penolakan LPJ APBD 2024, Ketua DPRD Sidoarjo : Ini Murni Fungsi Kontrol Legislatif kepada eksekutif

“Yang jelas, penyelesaian ini harus clear and clean. Kalau memang tanah negara, maka harus ditetapkan sebagai aset desa atau kabupaten, bukan jadi milik perorangan. Tapi kalau memang bapak-bapak ada bukti kuat kepemilikan, silakan dibawa (tempuh) jalur hukum,” tegas Rizza mengawali Hearing tersebut, Kamis, (21/8/2025) lalu.

Sebelumnya, suasana ruang rapat sempat riuh ketika warga Desa Lebo, Kecamatan Sidoarjo, mengadu soal tanah kavling yang mereka klaim sudah dibeli sejak awal tahun 1990-an. Dengan suara bergetar, perwakilan warga mempertanyakan nasib mereka yang sudah puluhan tahun membayar pajak namun tak kunjung mendapatkan sertifikat.

“Kami ini beli sejak 1991–1993, ada bukti pembelian, PBB kami bayar, petok ada, dokumen ada. Tapi sampai sekarang tidak bisa jadi sertifikat. Kesulitannya di mana?” ujar salah satu warga di hadapan dewan, pemerintah desa, camat, hingga perwakilan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Kalau memang takut, ya sudah laporkan ke Kejaksaan atau Polres. Kami siap hadir, biar terang benderang,” tambahnya.

Foto : Ketua Komisi A, H. Rizza Ali Faizin

Perwakilan warga yang hadir dalam forum tersebut berharap agar persoalan tanah yang menimpa 70 an lebih warga tersebut tidak berlarut-larut.

“Kami mohon ada solusi terbaik, jangan sampai masalah ini bertahun-tahun tidak selesai. Kalau memang perlu dibagi 50:50, monggo ditindaklanjuti. Yang penting jelas dan ada keputusan bersama,” timpal warga yang lain.

Namun, pernyataan itu langsung dibantah oleh Kepala Desa Lebo, H. Machmudi Rianto. Ia menegaskan bahwa tidak pernah ada komitmen pembagian tanah 50:50 sebagaimana sempat beredar di masyarakat.

“Dalam hearing pertama, tidak ada ucapan 50 : 50. Saya tegaskan, saya tidak setuju istilah lobi-lobi karena kesannya saya bisa dilobi. Poin saya jelas: tanah itu kalau bisa dimohonkan sebagai aset kabupaten atau desa. Tidak ada kata separo-separo,” tegas Machmudi.

Kepala Desa yang hadir meski dalam kondisi baru pascaoperasi mata itu juga menekankan bahwa tanah kavling yang dipersoalkan warganya tersebut masih berstatus tanah negara.

“Kalau dipecah-pecah jadi perorangan, itu sudah jelas melanggar aturan,” tegasnya.

Senada disampaikan Camat Kota, Sidoarjo, Gundari yang turut hadir dalam pertemuan tersebut. Menurutnya, tanah yang dipersoalkan warga tersebut merupakan tanah eks makam.

“Saya tegaskan kembali, tidak ada kata pembagian 50-50. Yang ada, pak lurah waktu itu minta waktu empat bulan untuk bermusyawarah dengan tokoh masyarakat. Karena tanah yang dipersoalkan ini setahu saya adalah eks makam Tionghoa yang kemudian ditanami masyarakat. Lalu ada pengaplingan oleh mantan kepala desa yang dulu,” jelasnya.

foto : Hearing Komisi A bersama warga desa Lebo, Kamis, (21/8/2025)

Disisi yang lain, Arif Pribadi, Korsub Penetapan BPN Sidoarjo menegaskan bahwa lembaganya hanya bisa bekerja (menerbitkan sertifikat) berdasarkan pengajuan dokumen resmi.

“Kalau tanah itu memang tanah negara, desa harus menyatakan jika riwayatnya eks makam, perlu ditelusuri dulu apakah ada yayasan, pengelola atau langsung menjadi tanah negara. Kami tidak bisa serta merta menerbitkan sertifikat tanpa dasar hukum yang kuat,” tegas Arif.

Mendengar pernyataan beberapa perwakilan instansi tersebut, Rizza Ali Faizin menegaskan bahwa terkendalanya penerbitan sertifikat tanah kavling milik warga bukan tanpa sebab. Dikarenakan status tanahnya yang masih milik negara.

“Jadi, setelah mendengar keterangan dari BPN, perangkat desa, dan camat maka bisa ditarik kesimpulan jika tanah tersebut memang masih berstatus milik negara. Sehingga tidak bisa serta merta dimiliki perorangan. Jadi jelas ya,” tegas Politisi asal Fraksi PKB tersebut.

foto : Ketua Komisi C, H. Khoirul Hidayat

Sementara, Ketua Komisi C, H. Khoirul Hidayat yang juga mantan kepala desa Lebo sengaja dihadirkan dalam forum tersebut. Menurut legislatif asal PDI P tersebut menilai ada kejanggalan dalam penerbitan petok D yang dimiliki warga saat ini. Mengingat, sejak dulu tanah tersebut berstatus tanah milik negara.

“Tanah itu sejak dulu tanah negara. Kalau memang ada petok D, jumlahnya pun janggal. Orang Lebo itu paling hanya 10, tapi kok bisa sampai 60 atau 70 petok D atas nama orang luar. Saya sudah pernah beri kesempatan kepada warga supaya diurus sertifikatnya, tapi selama 20 tahun ini tidak pernah berhasil,” tegas Khoirul.

Dia menilai, jual beli tanah yang dilakukan warga bersama mantan kades terdahulu merupakan jual beli kertas, bukan aset tanah. Mengingat status tanahnya yang masih milik negara.

“Jadi yang sampean (bapak) beli ini bukan beli tanah, tapi beli kertas. Ngapunten (mohon maaf), meski ini (pahit), tapi tetap harus saya sampaikan. Dan ini realitasnya. Mudah-mudahan bapak bisa dimengerti,” tegasnya.

foto : Anggota Komisi A DPRD Sidoarjo, Deny Haryanto

Senada disampaikan anggota Komisi A yang lain, Deny Haryanto mengatakan bahwa polemik ini muncul karena riwayat tanah eks makam tersebut sejak lama dikelola masyarakat tanpa kepastian hukum. Sehingga informasi yang diterima masyarakat pun tidak jelas asal-usulnya. Pihaknya meminta kepada desa dan BPN untuk menelusuri lebih lanjut dan menyampaikan terkait dokumen resmi serta melakukan kajian terkait status hukum tanah tersebut sebelum menetapkan langkah selanjutnya.

“Kalau memang tanah negara, tentu tidak bisa dimiliki perorangan. Ke depan, kami minta dokumen resmi bisa disampaikan agar tidak hanya berdasarkan cerita turun-temurun,” singkatnya.

Usai hearing, puluhan warga tampak meninggalkan ruang rapat dengan wajah kecewa. Sebagian berbisik, mengaku khawatir ketidakpastian ini akan terus berlarut. Namun ada juga yang masih menaruh harapan, percaya bahwa jalan hukum bisa memberi titik terang setelah tiga dekade menunggu. (Adv/Had).

No More Posts Available.

No more pages to load.