Sidoarjosatu.com – Para Kepala desa di Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur mengakui jika pembangunan jalan aspal dan rigid beton yang menggunakan dana Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) tahun 2022 dilakukan tanpa melalui proses lelang. Keterangan itu disampaikan langsung para kepala desa saat dihadirkan sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) di delapan desa di Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro di Pengadilan Tipikor Surabaya, di Juanda Sidoarjo, Senin, (25/9/2023).
Sebagaimana Peraturan Bupati Nomor 13 Tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan Bupati Nomor 12 tahun 2017 tentang pedoman pengelaolaan bantuan keuangan kepada pemerintah desa, dan Peraturan Bupati nomor 11 tahun 2021 tentang Tatacara Pengadaan Barang dan Jasa di Desa.
Saksi yang dihadirkan diantaranya, Kades Cendono, Purno Sulastyo, Kades Kendung, Pujiono, dan Kades Kebonagung, Abu Ali. Selain kades, JPU Kejari Bojonegoro juga menghadirkan saksi dari tim pelaksana, yakni, Umar (tim pelaksana), Karmo (tim pelaksana desa kebonagung), Sukardi (tim pelaksana desa Kendung), Sumanto (tim pelaksana desa Prangi)
Dihadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya, Kades Cendono, Purno Sulastyo mengungkapkan dalam program BKKD tahun 2021, pihaknya mengajukan anggaran senilai Rp.1,3 miliar, namun realiasasi anggaran BKKD yang diterimanya senilai Rp.1,73 Miliar.
Sementara kepala desa Kendung, Pujiono dalam proposalnya mengajukan anggaran BKKD senilai Rp.530 juta, namun direalisasikan sebesar Rp. 594 juta. Sedangkan desa Kebonagung mengajukan anggaran BKKD senilai Rp.500 juta, dan direalisasikan sebesar Rp. 668 jutaan.
“Untuk pembangunan jalan aspal,” jawab ketiga saksi.
Setelah ada penetapan dari Bupati Bojonegoro, Desa kemudian memasukkan anggaran tersebut dalam perubahan APBDesa di tahun anggaran tersebut. Namun fakta yang terungkap dalam persidangan, realisasi pelaksanaan pembangunan aspal yang seharusnya menggunakan mekanisme lelang, justru dilakukan dengan cara penunjukan langsung.
“Dilaksanakan oleh pihak lain, yaitu Bambang (terdakwa). Sebagai Perorangan. Harusnya tim pelaksana (timlak),” ujar Purno Sulastyo menjawab pertanyaan JPU.
Penunjukan Bambang sebagai pelaksana, lanjut Purno Sulastyo, merupakan arahan dari Heru Sugiharto saat menjabat sebagai camat Padangan. Menurutnya, ada delapan dari sembilan kades yang mendapat bantuan BKKD tersebut telah beberapa kali melakukan pertemuan dengan Heru dan Bambang.
“Pertemuan pertama saya enggak ikut. Yang kedua dan seterusnya ikut. Dikenalkan pak camat. Pada waktu itu Pak camat bilang Jadi satu saja biar dikerjakan Bambang. Nanti administrasinya akan dicukupi,” jelas Purno yang diaminkan dua saksi lainnya, yakni kades Kendung dan Kades Kebonagung.
Sebelum pertemuan tersebut, sejatinya para kades sudah mendapat pembekalan dari Dinas PU. Bina Marga terkait mekanisme lelang, yang mana dalam pengerjaan proyek dengan anggaran diatas Rp.200 juta harus menggunakan system’ lelang.
“Acaranya pembahasan tentang tatacara lelang yang sesuai tadi sore disampaikan ULP harus ada di 2 CV. Kemudian Bambang bilang nanti antara CV beton dan aspal itu akan dicarikan CV pemenang. sekalian CV pembanding. Tapi Belum terlaksana,” jelasnya.
Sejak pertemuan itulah, lanjutnya, terdakwa Bambang turut andil dalam pembuatan proposal, dan pembuatan RAB. Dihadapan Majelis Hakim para kades tersebut juga mengaku terpaksa telah mengikuti arahan eks camat dalam melaksanakan proses pembangunan jalan aspal tanpa proses lelang.
“Iya. Karena Pak Camat merupakan Pembina kami yang ada di desa,” jawab ketiga saksi tersebut.
Eks Camat Padangan, Heru Sugiharto yang saat itu dihadirkan membantah tuduhan para kades. Heru bersikukuh bahwa dirinya tidak pernah mengarahkan para kades melakukan penunjukan langsung seperti keterangan yang disampaikan.
“Tidak mungkin para kades itu tidak tahu aturan bahwa pengerjaan proyek miliaran rupiah harus ditenderkan. Kades itu jabatan politik, ada yang memimpin dua atau tiga periode, sudah mengelola dana desa Rp1 miliar lebih. Jadi pernah saya sampaikan secara lisan, negara nggak butuh cerita, negara butuh kertas. Itu terus saya ulang-ulang, karena saya punya kewajiban sebagai konsultatif,” ucap Heru saat di konfrontir.
Heru juga menegaskan bahwa dirinya menolak atas tuduhan atau keterangan yang disampaikan para kades. Pernyataan atau keterangan yang berlawanan tersebut membuat Majelis Hakim menilai, bahwa dari keterangan saksi yang dihadirkan memberikan keterangan palsu.
“Ada saksi yang berbohong dan ada saksi yang tidak berbohong. Tinggal penuntut umum yang bisa menetapkan siapa tersangka sumpah palsu ini,” tegas Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya, Hj. Halima Umaternate.
Sementara Penasehat Hukum Terdakwa Bambang ; Pinto Utomo usai persidangan mengungkapkan bahwa ketua majelis hakim memiliki kewenangan bilamana ada saksi yang memberikan keterangan palsu dapat langsung dijadikan tersangka kepada si pemberi keterangan palsu. Sebagaimana pasal 174 KUHP.
“Jadi, hakim itu punya kewenangan mengeluarkan penetapan menjadikan tersangka kepada si pemberi keterangan palsu tersebut. Tidak mungkin ada keterangan berbeda tapi dimaknai sama. Ada satu yang jujur dan tidak jujur. Kesesuaian fakta disini Mereka itu siapa dan berbuat apa. Harapan saya jaksa segera mengikuti perintah hakim,” Ujar Pinto. (Had).