Sidoarjosatu.com – Kuasa Hukum terdakwa Moh. Ishak ; Ghufron, SH., meminta kepada majelis hakim untuk membebaskan kliennya dari semua tuntutan JPU. Alasannya, perbuatan yang dilakukan terdakwa atas penarikan sejumlah uang untuk keluarga penerima manfaat (KPM) berdasarkan perintah jabatan dari seorang kades Gili Anyar Kecamatan Kamal, Bangkalan, Yakni Masdali.
Hal itu disampaikan Kuasa Hukum Moh. Ishak dalam sidang lanjutan dengan agenda nota pembelaan (pledoi) di Pengadilan Tipikor Surabaya di Juanda, Sidoarjo, Jumat, (11/8/2023).
“Dalam konteks ini, perintah jabatan dikenal sebagai mandat dan mandatur. Jika seseorang diperintah atas perintah jabatan maka tindak pidananya itu melekat pada yang memberi perintah,” jelas Ghufron.
Lebih lanjut, Ghufron menjelaskan, bahwa terdakwa Moh. Ishak merupakan seorang sekretaris desa (carik) di kawasan Desa Gili Anyar Kecamatan Kamal, Bangkalan Madura. Dalam perkara tersebut, terdakwa mengaku hanya diperintah oleh kades yang saat itu dijabat oleh Masdali. Namun saat ini Masdali sudah meninggal dunia.
“Disisi lain, klien kami juga mendapat ancaman dari kades jika tidak menjalankan perintah maka diancam akan diberhentikan dari Sekdes. Sedangkan sekdes sendiri diangkat langsung oleh Kades,” tegasnya.
Sementara, berkenaan dengan pencairan PKH dari menteri sosial ke masyarakat, menurutnya bukan lagi menjadi keuangan negara. Sehingga dalam perkara ini negara tidak mengalami kerugian.
“Jadi ini bukan lagi masuk ke ranah korupsi, melainkan penggelapan. Sebagaimana pasal 372 KUHP atau 374 KUHP penggelapan dalam bekerja. Sebagaimana penjelasan ahli yang dihadirkan dalam persidangan,” jelasnya.
Disisi yang lain, Jaksa Penuntut Umum pada saat BAP memanggil sebanyak 33 saksi, namun pada saat persidangan hanya 28 saksi yang berhasil dihadirkan. Sehingga hal ini tidaklah fair bagi terdakwa untuk mendapat keadilan.
Dalam tuntutannya, terdakwa dituntut empat tahun 6 bulan pidana dan denda sebesar Rp, 200 juta. Baginya, hal ini sangat memberatkan dan tidak sesuai dengan hak asasi manusia. Mengingat, terdakwa hanya mendapat perintah dari atasan, dan uang yang diterimanya pun tak sebanding dengan tuntutan jaksa.
“Klien kami hanya menerima sebesar Rp.100-200 ribu sebagai pengganti uang rokok dan bensin setiap mengambil uang pencairan. Secara akumulasi, hanya Rp. 2juta saja, tapi denda nya sampai 200 juta. Ini kan enggak sebanding,” terangnya.
Dalam perkara ini, pihaknya meminta kepada majelis hakim pengadilan Tipikor untuk memutus perkara dengan seadil-adilnya. (Had).